A.
Dasar Pembentukan Keluarga dalam Islam
Perkawinan dari sudut pandang
Islam merupakan sistem peraturan dari Allah SWT yang mengandung karunia yang
besar dan hikmah yang agung. Melalui perkawinan dapat diatur hubungan laki-laki
dan wanita ( yang secara fitrahnya saling tertarik ) dengan aturan yang khusus.
Dari hasil pertemuan ini juga akan berkembang jenis keturunan sebagai salah
satu tujuan dari perkawinan tersebut. Dan dari perkawinan itu pulalah terbentuk
keluarga yang diatasnya didirikan peraturan hidup khusus dan sebagai
konsekuensi dari sebuah perkawinan.
Islam telah memerintahkan dan
mendorong untuk melakukan pernikahan. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra yang berkata bahwasanya Rosulullah
SAW bersabda :
" Wahai para pemuda,
barang siapa diantara kamu telah mampu memikul beban, maka hendaklah ia kawin,
karena dengan menikah dapat menundukkan pandangan dan menjaga ke’hormatan’, dan
barang siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa, karena dengan puasa itu
dapat menjadi perisai"
Dari pertemuan antara wanita dan
pria inilah kemudian muncul hubungan yang berkait dengan kemaslahatan mereka
dan kemaslahatan masyarakat tempat mereka hidup dan juga hubungannya dengan
negara. Hal ini mengingat ciri khas pengaturan Islam ( syariat Islam ) atas
manusia selalu mengaitkannya dengan masyarakat dan negara. Sebab definisi dari
masyarakat sendiri adalah ‘
Kumpulan individu ( manusia ) yang terikat oleh pemikiran, perasaan dan aturan
( sistem ) yang satu ( sama )’5). Hal ini berarti dalam sebuah masyarakat
mesti ada interaksi bersama antar mereka yang terjadi secara terus menerus dan
diatur dalam sebuah aturan yang fixed.
Rosulullah SAW telah menjelaskan status dan hubungan individu dengan masyarakat
dengan sabdanya :
" Perumpamaan
orang-orang Muslim , bagaimana kasih sayang yang tolong menolong terjalin antar
mereka, adalah laksana satu
tubuh. Jika satu bagian merintih merasakan sakit, maka seluruh bagian tubuh
akan bereaksi membantunya dengan berjaga ( tidak tidur ) dan bereaksi
meningkatkan panas badan ( demam ) "
( HR Muslim )
Oleh karena itu , Islam memandang individu-individu, keluarga, masyarakat
dan negara sebagai umat yang satu dan memiliki aturan yang satu. Di mana dengan
peraturan dan sistem nilai tersebut, manusia akan dibawa pada kehidupan yang
tenang, bahagia dan sejahtera.
Menurut Shihab,
beberapa faktor untuk membentuk keluarga sakinah: (a) Kesetaraan. Kesetaraan
ini mencakup banyak aspek, seperti kesetaraan dalam kemanusiaan. (b)
Musyawarah. Pernikahan yang sukses bukan saja ditandai oleh tidak adanya cekcok
antara suami/istri karena bisa saja cekcok terjadi bila salah satu pasangan
tidak bisa menerima semua yang dikehendaki oleh pasangannya. Dari berbagai
problem rumah tangga, bimbingan dan konseling terhadap berbagai problem rumah
tangga relevan dengan fungsi konseling keluarga Islam yaitu membantu agar klien
dapat menjalani kehidupan berumah tangga secara benar, bahagia dan mampu
mengatasi problem-problem yang timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena
itu maka konseling keluarga khususnya yang islami pada prinsipnya berisi
dorongan untuk menghayati kembali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan
tuntunan hidup berumah tangga menurut ajaran Islam.
B.
Mawarits
Menurut bahasa mawaris adalah
bentuk jama’ dari kata mirosun, yang berarti hal warisan. Sedangkan menurut
istilah adalah perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan orang
meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup.
Ilmu yang mempelajari hal waris lebih populer disebut faroid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapaatkan warisan, siapa yang tidak mendapatkan, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan bagaimana cara pembagiannya.
Ilmu yang mempelajari hal waris lebih populer disebut faroid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapaatkan warisan, siapa yang tidak mendapatkan, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan bagaimana cara pembagiannya.
Sebab-sebab Seseorang Mendapatkan
Harta Waris.
a. Nasab atau adanya hubungan darah atau keturunan (Q.S. An Nisa’ {4} : 7).
b. Mushoharoh, yaitu adanya ikatan pernikahan yang sah. Misalnya suami atau istri.
c. Al Wala’ yaitu seseorang yang memerdekakan budak.
Sabda Rasul :
Artinya : Sesungguhnya hak wala’ (kekerabataan) itu untuk orang yang memerdekakan ( H.R. Bukhori Muslim).
d. Hubungan sesama Muslim, yaitu jika yang meninggal tidak memiliki ahli waris sebagaimana yang telah ditentukan oleh syari’ah.
a. Nasab atau adanya hubungan darah atau keturunan (Q.S. An Nisa’ {4} : 7).
b. Mushoharoh, yaitu adanya ikatan pernikahan yang sah. Misalnya suami atau istri.
c. Al Wala’ yaitu seseorang yang memerdekakan budak.
Sabda Rasul :
Artinya : Sesungguhnya hak wala’ (kekerabataan) itu untuk orang yang memerdekakan ( H.R. Bukhori Muslim).
d. Hubungan sesama Muslim, yaitu jika yang meninggal tidak memiliki ahli waris sebagaimana yang telah ditentukan oleh syari’ah.
Hal-hal Dapat Membatalkan Hak Waris
Seseorang.
a. Pembunuh. Orang yang membunuh keluarganya tidak mendapatkan bagian harta pusaka dari orang yang dibunuhnya. Sabda Rasul :
Artinya : Orang yang membunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuhnya (H.R. Nasai’i )
b. Hamba sahaya ( Status budak). Firman Allah :
Artinya :….. seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun ………..( Q.S. An Nahl {16} : 75) .
c. Berbeda agama ( kafir ). Rasulullah bersabda yang artinya : “ Tidak mewarisi orang Islam akan orang yang bukan Islam. Demikian pula orang yang bukan Islam tidak dapat mewarisi orang Islam” ( H.R. Jama’ah ).
a. Pembunuh. Orang yang membunuh keluarganya tidak mendapatkan bagian harta pusaka dari orang yang dibunuhnya. Sabda Rasul :
Artinya : Orang yang membunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuhnya (H.R. Nasai’i )
b. Hamba sahaya ( Status budak). Firman Allah :
Artinya :….. seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun ………..( Q.S. An Nahl {16} : 75) .
c. Berbeda agama ( kafir ). Rasulullah bersabda yang artinya : “ Tidak mewarisi orang Islam akan orang yang bukan Islam. Demikian pula orang yang bukan Islam tidak dapat mewarisi orang Islam” ( H.R. Jama’ah ).
Ahli Waris
Secara keseluruhan ahli waris yang mendapatkan harta pusaka ada 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.
a. Pihak laki-laki :
1). Anak lakilaki
2). Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3). Ayah
4). Kakek dari pihak ayah
5). Saudara laki-laki sekandung
6). Saudara laki-laki seayah
7). Saudara laki-laki seibu
8).. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung ( keponakan)
9). Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
10). Saudara laki-laki ayah yang sekandung ( paman )
11). Saudara laki-laki ayah se ayah
12). Anak lai-laki saudara ayah yang laki-laki sekandung
13). Anak laki-laki saudara ayah yang laki-laki seayah
14). Suami
15). Lali-laki yang memerdekakan budak.
Jika lima belas orang tersebut di atas masih ada semuanya, yang diprioritaskan ada tiga , yaitu ;
1). Ayah,
2) Anak laki-laki
3) Suami.
b. Pihak Perempuan :
1) Anak perempuan
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki
3) Ibu
4) Nenek dari pihak ayah
5) Nenenk diri pihak ibu
6) Saudara perempuan sekandung
7) Saudara peremmpuan seayah
8) Saudara peremouan seibu
9) Istri
10) Perempuan yang memerdekakan budak
Jika Sepuluh orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan ada lima yaitu :
1). Istri
2). Anak perempuan
3). Cucu perempuan dari anak laki-laki
4). Saudara perempuan sekandung
Jika dua 25 orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan adalah sebagai perikut :
1). Ibu
2). Ayah
3). Anak laki-laki
4). Anak perempuan
5). Suami atau istri
5. Pembagian Ahli Waris.
a. Ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu (Furudhul Muqoddaroh)
Bagian-bagian waris yang telah ditentukan oleh Al Qur’an adlah : 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6.
6. Ahli waris yang mendapatkan 1/2 adalah :
a). Anak perempuan, apa bila sendirian tidak bersama saudara.
b). Saudara perempuan tungal yang sekandung
c). Cucu perempuan, jika tidak ada anak perempuan
d). Suami, Jika tidak ada anak atau cucu.
2. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1//4. yaitu :
a). Suami, jika ada anak atau cucu
b). Istri, jika tidak ada anak atau cucu.
3. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/8 adalah ;
Istri, jika suami meninggalkan anak atau cucu.
4. Ahli waris yang mendapatkan bagian 2/3 adalah :
a). Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
b). Dua cucu perempuan atau lebi dari anak laki-laki, jika tidak ada anak perempuan.
c). Dua saudara perempuan atau lebih yang sekandung
d). Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seayah, jika tidak ada saudara perempuan yang sekandung.
5. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/3 adalah :
a). Ibu, apabila yang meniggal tidak meninggalka anka atau cucu dari anak laki-laki dan tidak ada saudara.
b). Dua orang saudara atau lebih, dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
6. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/6 adalah :
a). Ibu, apabila yang meninggal mempuanyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau saudara lebih dari satu.
b). Ayah, jika yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
c). Nenek, jika yang meninggal sudah tidak ada Ibu
d). Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, baik sendirian atau lebih, jika bersama anak perempuan.
b. Ahli waris ashobah
Ahli waris ashobah adalah ahli waris yang memperoleh bagian berdasarkan sisa harta pusaka setelah dibagikan ahli waris yang lain. Ahli waris ashobah dapat menghabiskan semua sisa harta pusaka. Ashobah dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Ashobah binafsih, yaitu ahli waris yang mejadi ashobah dengan sendirinya, yaitu :
a). Anak laki-laki
b). Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c). Ayah
d). Kakek dari pihak ayah
e). Saudara laki-laki sekandung
f). Saudara laki-laki seayah
g). Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
h). Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
i). Paman sekandung dari ayah
j). Panan seayah dari ayah
k). Anak laki-laki sekandung dari ayah
l). Anak laki-laki paman seayah dari ayah
2. Ashobah bil ghoiri, ahli waris yang menjadi ashobah karena sebab ahli waris yang lain mereka adalah :
1). Anak perempuan, jika bersama saudara laki-laki.
2). Cucu perempuan, jika bersama cucu laki-laki
3). Saudara perempuan sekandung , jika bersama saudara laki-laki.
4). Saudara perempuan seayah, jika bersama saudara laki-laki seayah
3. Ashobah Ma’al ghoiri, ahli waris yang menjadi ashobah jika bersama ahli waris yang lain, yaitu :
a). Saudara perempuan sekandung seorang atau lebih, jika bersama anak atau cucu perempuan.
b). Saudara perempuan seayah seorang atau lebih, jika bersama anak atau cucu perempuan yang seayah.
Secara keseluruhan ahli waris yang mendapatkan harta pusaka ada 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.
a. Pihak laki-laki :
1). Anak lakilaki
2). Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3). Ayah
4). Kakek dari pihak ayah
5). Saudara laki-laki sekandung
6). Saudara laki-laki seayah
7). Saudara laki-laki seibu
8).. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung ( keponakan)
9). Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
10). Saudara laki-laki ayah yang sekandung ( paman )
11). Saudara laki-laki ayah se ayah
12). Anak lai-laki saudara ayah yang laki-laki sekandung
13). Anak laki-laki saudara ayah yang laki-laki seayah
14). Suami
15). Lali-laki yang memerdekakan budak.
Jika lima belas orang tersebut di atas masih ada semuanya, yang diprioritaskan ada tiga , yaitu ;
1). Ayah,
2) Anak laki-laki
3) Suami.
b. Pihak Perempuan :
1) Anak perempuan
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki
3) Ibu
4) Nenek dari pihak ayah
5) Nenenk diri pihak ibu
6) Saudara perempuan sekandung
7) Saudara peremmpuan seayah
8) Saudara peremouan seibu
9) Istri
10) Perempuan yang memerdekakan budak
Jika Sepuluh orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan ada lima yaitu :
1). Istri
2). Anak perempuan
3). Cucu perempuan dari anak laki-laki
4). Saudara perempuan sekandung
Jika dua 25 orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan adalah sebagai perikut :
1). Ibu
2). Ayah
3). Anak laki-laki
4). Anak perempuan
5). Suami atau istri
5. Pembagian Ahli Waris.
a. Ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu (Furudhul Muqoddaroh)
Bagian-bagian waris yang telah ditentukan oleh Al Qur’an adlah : 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6.
6. Ahli waris yang mendapatkan 1/2 adalah :
a). Anak perempuan, apa bila sendirian tidak bersama saudara.
b). Saudara perempuan tungal yang sekandung
c). Cucu perempuan, jika tidak ada anak perempuan
d). Suami, Jika tidak ada anak atau cucu.
2. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1//4. yaitu :
a). Suami, jika ada anak atau cucu
b). Istri, jika tidak ada anak atau cucu.
3. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/8 adalah ;
Istri, jika suami meninggalkan anak atau cucu.
4. Ahli waris yang mendapatkan bagian 2/3 adalah :
a). Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
b). Dua cucu perempuan atau lebi dari anak laki-laki, jika tidak ada anak perempuan.
c). Dua saudara perempuan atau lebih yang sekandung
d). Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seayah, jika tidak ada saudara perempuan yang sekandung.
5. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/3 adalah :
a). Ibu, apabila yang meniggal tidak meninggalka anka atau cucu dari anak laki-laki dan tidak ada saudara.
b). Dua orang saudara atau lebih, dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
6. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/6 adalah :
a). Ibu, apabila yang meninggal mempuanyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau saudara lebih dari satu.
b). Ayah, jika yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
c). Nenek, jika yang meninggal sudah tidak ada Ibu
d). Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, baik sendirian atau lebih, jika bersama anak perempuan.
b. Ahli waris ashobah
Ahli waris ashobah adalah ahli waris yang memperoleh bagian berdasarkan sisa harta pusaka setelah dibagikan ahli waris yang lain. Ahli waris ashobah dapat menghabiskan semua sisa harta pusaka. Ashobah dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Ashobah binafsih, yaitu ahli waris yang mejadi ashobah dengan sendirinya, yaitu :
a). Anak laki-laki
b). Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c). Ayah
d). Kakek dari pihak ayah
e). Saudara laki-laki sekandung
f). Saudara laki-laki seayah
g). Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
h). Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
i). Paman sekandung dari ayah
j). Panan seayah dari ayah
k). Anak laki-laki sekandung dari ayah
l). Anak laki-laki paman seayah dari ayah
2. Ashobah bil ghoiri, ahli waris yang menjadi ashobah karena sebab ahli waris yang lain mereka adalah :
1). Anak perempuan, jika bersama saudara laki-laki.
2). Cucu perempuan, jika bersama cucu laki-laki
3). Saudara perempuan sekandung , jika bersama saudara laki-laki.
4). Saudara perempuan seayah, jika bersama saudara laki-laki seayah
3. Ashobah Ma’al ghoiri, ahli waris yang menjadi ashobah jika bersama ahli waris yang lain, yaitu :
a). Saudara perempuan sekandung seorang atau lebih, jika bersama anak atau cucu perempuan.
b). Saudara perempuan seayah seorang atau lebih, jika bersama anak atau cucu perempuan yang seayah.
Hukum
Waris Adat dan Hukum Positif
1. Hukum waris adat
Hukum waris adat erat hubungannya dengan sifat dan bentuk kekeluargaan. Di Indonesia terdapat tiga bentuk kekeluargaan yaitu :
a. Patrilinial, yaitu jalur keturunan ada pihak laki-laki. Oleh karena itu hak waris pun hanya berlaku phak laki-laki saja. Sistem ini berlaku pada masyarakat daerah Batak, Ambon, Irian Jaya dan Bali.
b. Matrilinial, yaitu jalur keturunan ada pada pihak perempuan atau ibu. Karena itu yang berhak atas waris pun hanya anak perempuan. Sisitem ini berlaku pada masyarakat Minagkabau.
c. Parental, yaitu jalur keturunan ada antara aqyah dan ibu punya peran yang sama. Karena itu warisasan pun laki-laki maupun perempuan memperoleh bagiannya. Sistem ini berlaku sebagian besar masyarakat Indonesia.
2. Hukum waris positif
Di Indonesia ada dua sistem penyelesaian waris, yaitu pertama, menggunakan KUH Perdata, Buku I dari pasal 830 hingga pasal 1130.Kewenangannya ada pada Pengadilan Negeri. Kedua,UU No. 7 th. 1989. Undang-undang ini khususnya berlaku bagi umat Islam dalam menyelesaikan pewarisan. Wewenagnya ada di pihak Pengadilan Agama. Adapun peranan Pengadilan Agama adalah :
a. Menentukan para ahli waris
b. Menentukan harta peniggalan
c. Menentukan bagian masing-masingahli waris
d. Pelaksana dalam pembagian harta peninggalan tersebut.
Pada dasarnya sebagian pasal Undang-undang No. 7 tahun 1989 , merupakan implementasi dari hukum Islam, misalnya :
a. Bab III Pasal 176 – 182, tentang ketentuan para ahli waris ( dzawil furud ).
b. Pasal 173.3 Bab II, terhalangnya hal waris bagi pembunuh untuk menerima harta waris dari yang terbunuh.
c. Pasal 171 Bab I, Jika orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris, maka harta bendanya masuk ke Baitul Mal dan dipergunakan untuk kepentinga umat Islam.
1. Hukum waris adat
Hukum waris adat erat hubungannya dengan sifat dan bentuk kekeluargaan. Di Indonesia terdapat tiga bentuk kekeluargaan yaitu :
a. Patrilinial, yaitu jalur keturunan ada pihak laki-laki. Oleh karena itu hak waris pun hanya berlaku phak laki-laki saja. Sistem ini berlaku pada masyarakat daerah Batak, Ambon, Irian Jaya dan Bali.
b. Matrilinial, yaitu jalur keturunan ada pada pihak perempuan atau ibu. Karena itu yang berhak atas waris pun hanya anak perempuan. Sisitem ini berlaku pada masyarakat Minagkabau.
c. Parental, yaitu jalur keturunan ada antara aqyah dan ibu punya peran yang sama. Karena itu warisasan pun laki-laki maupun perempuan memperoleh bagiannya. Sistem ini berlaku sebagian besar masyarakat Indonesia.
2. Hukum waris positif
Di Indonesia ada dua sistem penyelesaian waris, yaitu pertama, menggunakan KUH Perdata, Buku I dari pasal 830 hingga pasal 1130.Kewenangannya ada pada Pengadilan Negeri. Kedua,UU No. 7 th. 1989. Undang-undang ini khususnya berlaku bagi umat Islam dalam menyelesaikan pewarisan. Wewenagnya ada di pihak Pengadilan Agama. Adapun peranan Pengadilan Agama adalah :
a. Menentukan para ahli waris
b. Menentukan harta peniggalan
c. Menentukan bagian masing-masingahli waris
d. Pelaksana dalam pembagian harta peninggalan tersebut.
Pada dasarnya sebagian pasal Undang-undang No. 7 tahun 1989 , merupakan implementasi dari hukum Islam, misalnya :
a. Bab III Pasal 176 – 182, tentang ketentuan para ahli waris ( dzawil furud ).
b. Pasal 173.3 Bab II, terhalangnya hal waris bagi pembunuh untuk menerima harta waris dari yang terbunuh.
c. Pasal 171 Bab I, Jika orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris, maka harta bendanya masuk ke Baitul Mal dan dipergunakan untuk kepentinga umat Islam.
C.
Pembentukan Masyarakat Islam:
·
Pengertian
Masyarakat
Masyarakat adalah
kumpulan sekian banyak individu kecil ataubesar yang terikat oleh satuan, adat
ritus atau hukum khas dalamhidup bersama.– J.L. Gillin dan J.P. Gillin
mengatakan bahwa masyarakat adalahkelompok manusia yang tersebar dan memiliki
kebiasaan, tradisi,sikap dan perasaan persatuan yang sama– R. Linton seorang
ahli antropologi mengemukakan bahwamasyarakat adalah setiap kelompok manusia
yang telah cukuplama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka itu
dapatmengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagaisatu
kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.11– Sedangkan masyarakat dalam
perspektif islam, Ada banyak katayang dipergunakan di dalam Al-Qur'an untuk
menunjukkan kepadamasyarakat atau kumpulan manusia, antara lain : Qawm, ummah,syu'ub
dan qabail. Di samping itu Al-qur'an juga memperkenalkanmasyarakat dengan
sifat-sifat tertentu seperti al-mala', al- mustakbirun, al-mustadh'afun dan
lain-lain. Al-Qur'an banyaksekali berbicara tentang masyarakat, hal ini
disebabkan karenafungsi utama kitab suci ini adalah mendorong lahirnya
perubahanperubahanpositif di dalam masyarakat.
Karena itu tidak
berlebihanjika dikatakan bahwa, "Al-Qur'an adalah kitab/buku pertama
yangmemperkenalkan hukum-hukum kemasyarakatan ".Islam juga mengakui akan
kelompok-kelompok manusia dansuku bangsa akibat pengaruh alam dan sosio-budaya.
Dalam islamkonsep masyarakat disebut "Ummat (masyarakat Islam)
yangmempunyai arti sangat luas tanpa dibatasi oleh suku, ras,
golongan,kedudukan dan pangkat, kecuali agama. Perbedaan antara merekaadalah
tidak terletak pada kemanusiaannya, akan tetapi pada tingkatketaqwaannya pada
Tuhan ".Dalam perspektif islam setiap masyarakat pasti mempunyaiciri khas
dalam pandangan hidupnya. Mereka melangkah berdasarkankesadaran tentang hal tersebut.
Inilah yang melahirkan watak dankepribadian serta prilaku yang khas. Dalam hal
ini, Al-Qur'anmenyatakan ; "Demikianlah, kami jadikan indah (di mata)
setiapmasyarakat perbuatan mereka"
·
Masyarakat
Madani
Masyarakat
madani adalah masyarakat yang berbudaya namun mampu berinteraksi dengan dunia
luar yang modern sehingga dapat terus berkembang dan maju. Dalam masyarakat
madani, setiap warganya menyadari dan mengerti akan hak-haknya serta
kewajibannya terhadap negara, bangsa dan agama. Masyarakat madani sangat
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Masyarakat madani adalah masyarakat
bermoral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas
masyarakat, dimana masyarakat memiliki motivasi dan inisiatif individual.
Masyarakat madani merupakan suatu masyarakat ideal yang didalamnya hidup
manusia-manusia partisipan yang masing-masing diakui sebagai warga dengan
kedudukan yang serba serta dan sama dalam soal pembagian hak dan kewajiban.
Pada intinya pengertian masyarakat madani adalah masyarakat yang memiliki
kehidupan ideal, baik dalam hak dan kewajiban warga dapat terlaksana secara
seimbang serta mampu berkembang dengan dunia luar demi majunya kehidupan.
Adapun ciri-ciri dari masyarakat madani yaitu sebagai
berikut:
1. Terintegrasinya individu-individu
dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial
dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga
kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh
kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program
pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang
berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya
kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusan-keputusan pemerintah.
5. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan
kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya
dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan
kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya
dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
Karakteristik dalam masyarakat yang madani :
1. Free public sphere (ruang publik yang bebas),
yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, yaitu
berhak dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta
mempublikasikan informasikan kepada publik.
2. Demokratisasi, yaitu proses dimana para
anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat
dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya
3. Toleransi, yaitu sikap saling menghargai dan
menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima
kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus,
5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian
antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang
benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak
lain.
7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan
jaminan terciptanya keadilan
8. Sebagai pengembangan masyarakat
melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan
9. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang
teraniaya dan tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan
10. Menjadi kelompok kepentingan atau
kelompok penekan.
Demikian sedikit mengenai masyarakat madani dan
masalah-masalah yang menghambat masyarakat indonesia dalam mencapai masyarakat
madani.
·
Ciri dengan
Sistem Masyarakat Islam
Dasar
masyarakat dalam ajaran Islam adalah Islam itu sendiri. Karena manusia semuanya
diperintahkan untuk menganutnya, dan diperintahkan mengetahui kedudukannya
dalam kehidupan ini dan mengetahui hubungan manusia dengan alam dan sebab apa
dia dijadikan. Islam mengarahkan pemikiran manusia, perbuatan dan tindak
tanduknya, dan yang menjadi dasar pegangannya dalam semua keadaan. Kalau
manusia dianggap sebagai makhluk sosial, maka Islam mengarahkan mereka dalam
membina masyarakat ini dan sistem Islamlah yang menjadi pilihannya. Denagn kata
lain, haruslah pembinaan didasarkan kepada Dienul Islam sehingga setiap
individu berbuat sesuai dengan ajaran Islam, baik dia sebagai individu maupun
sebagai masyarakat. Begitu juga masyarakatnya dijadikan suatu masyarakat yang
diatur oleh Islam yang menjadi kepercayaan masyarakatnya. Denagn demikian
setiap orang yang menganut Islam dan meyakininya, dapat menjadi anggota
masyarakat Islam dan berkewajiban mempertahankan serta berusaha untuk mencapai
tujuannya.
Sebenarnya
ciri-ciri masyarakat Islam sudah tercakup dalam dasar sistem masyarakat Islam,
namun dalam pembahasan berikut adalah masalah ciri-ciri yang menonjol, antara
lain :
1.
Pemeliharaan Norma-norma Akhlaq
Akhlaq mempunyai kedudukan penting dalam Islam, dan pengaruhnya sangat besar dalam pelbagai peraturan-peraturan dan diantaranya dalam sistem masyarakat. Peraturan-peraturan dalam Islam sangat mementingkan kersihan masyarakat dari perbuatan-perbuatan tercela. Islam memberikan hukuman setiap perbuatan yang diharamkan juga sangat mencela orang yang berbuat kemungkaran. Oleh karena itu setiap ada kemungkaraan wajib dicegah, tidak boleh dibiarkan berlaku dalam masyarakat Islam, karena kemungkaran laksana penyakit yang berbahaya, yang kalau dibiarkan hidup dan berkembang tubuh akan binasa.
Rasulullah bersabda :
"Wahai manusia! Barangsiapa yang mengerjakan sedikit dari kemungkaran maka ditutupnya dan dia dalam tutupan Allah dan barangsiapa membukakannya, kami laksanakan kepadanya had (hukuman)". (Al Haddits)
Akhlaq mempunyai kedudukan penting dalam Islam, dan pengaruhnya sangat besar dalam pelbagai peraturan-peraturan dan diantaranya dalam sistem masyarakat. Peraturan-peraturan dalam Islam sangat mementingkan kersihan masyarakat dari perbuatan-perbuatan tercela. Islam memberikan hukuman setiap perbuatan yang diharamkan juga sangat mencela orang yang berbuat kemungkaran. Oleh karena itu setiap ada kemungkaraan wajib dicegah, tidak boleh dibiarkan berlaku dalam masyarakat Islam, karena kemungkaran laksana penyakit yang berbahaya, yang kalau dibiarkan hidup dan berkembang tubuh akan binasa.
Rasulullah bersabda :
"Wahai manusia! Barangsiapa yang mengerjakan sedikit dari kemungkaran maka ditutupnya dan dia dalam tutupan Allah dan barangsiapa membukakannya, kami laksanakan kepadanya had (hukuman)". (Al Haddits)
2. Berlaku
Adil
Keadilan merupakan salah satu bagian yang mulia dan puncak akhlaq yang baik. Islam sangat menekankan akan pentingnya keadilan, berlaku adil. Allah berfirman :
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kaum kerabat (apa yang mereka perlukan) dan melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberikan pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran". (QS An-Nahl (16), 90)
"Dan apabila kamu menerapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil" (QS An-Nisa (4), 58)
"Jika golongan itu kembali (kepada perintah Allah) maka demikianlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah kamu" (QS Al-Hujurat (49), 9)
Beberapa ayat diatas bertalian erat dengan keadilan, dan sekaligus amat melarang berlaku dzalim. Dengan demikian semakin jelas bahwa keadilan (berlaku adil) adalah syarat penting dalam Islam. Dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama Keadilan dalam segala-galanya.
Keadilan merupakan salah satu bagian yang mulia dan puncak akhlaq yang baik. Islam sangat menekankan akan pentingnya keadilan, berlaku adil. Allah berfirman :
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kaum kerabat (apa yang mereka perlukan) dan melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberikan pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran". (QS An-Nahl (16), 90)
"Dan apabila kamu menerapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil" (QS An-Nisa (4), 58)
"Jika golongan itu kembali (kepada perintah Allah) maka demikianlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah kamu" (QS Al-Hujurat (49), 9)
Beberapa ayat diatas bertalian erat dengan keadilan, dan sekaligus amat melarang berlaku dzalim. Dengan demikian semakin jelas bahwa keadilan (berlaku adil) adalah syarat penting dalam Islam. Dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama Keadilan dalam segala-galanya.
3. Keluarga
adalah Pondasi Masyarakat
Keluarga adalah merupakan basis kekuatan masyarakat, karena masyarakat merupakan kumpulan dari keluarga-keluarga, dan keluarga laksana sel-sel yang membentuk tubuh. Kalau keluarga baik niscaya masyarakatpun akan baik, sebaliknya kalau keluarga rusak niscaya rusak pula masyarakatnya. Karena itu Islam selalu menaruh perhatian khusus dalam masalah keluarga, dan peraturan-peraturan yang mengatur keluarga sangat banyak dalam Islam.
Aturan datam pembentukan keluarga cukup banyak, mulai masalah perkawinan, bagaimana prosedur perkawinan, hak-hak suami dan istri, bagaimana aturan dalam berpoligami, perceraian beserta syarat-syaratnya, hak-hak anak dalam keluarga, perasaan solidaritas sesama anggota keluarga, posisi wanita dalam Islam, tata susila yang harus dilaksanakan kaum wanita, dan sebagainya. Semua aturan itu harus dilaksanakan oleh seluruh umat Islam dalam rnembina keluarganya.
Keluarga adalah merupakan basis kekuatan masyarakat, karena masyarakat merupakan kumpulan dari keluarga-keluarga, dan keluarga laksana sel-sel yang membentuk tubuh. Kalau keluarga baik niscaya masyarakatpun akan baik, sebaliknya kalau keluarga rusak niscaya rusak pula masyarakatnya. Karena itu Islam selalu menaruh perhatian khusus dalam masalah keluarga, dan peraturan-peraturan yang mengatur keluarga sangat banyak dalam Islam.
Aturan datam pembentukan keluarga cukup banyak, mulai masalah perkawinan, bagaimana prosedur perkawinan, hak-hak suami dan istri, bagaimana aturan dalam berpoligami, perceraian beserta syarat-syaratnya, hak-hak anak dalam keluarga, perasaan solidaritas sesama anggota keluarga, posisi wanita dalam Islam, tata susila yang harus dilaksanakan kaum wanita, dan sebagainya. Semua aturan itu harus dilaksanakan oleh seluruh umat Islam dalam rnembina keluarganya.
Referensi